Pernahkah
Anda mengenal jurnal penutup?, dan bagaimana pula dengan Neraca Saldo setelah
penutupan? Baik, mari kita pelajari satu persatu.
|
1. Jurnal Penutup
Akun pendapatan dan beban merupakan akun nominal atau akun sementara yang dibuka untuk menghitung laba/rugi perusahaan selama satu periode. Akhirnya saldo laba/rugi dipindahkan (ditutup) ke akun modal, |
Selasa, 30 Oktober 2012
Jurnal Penutup dan Neraca Saldo Setelah Penutupan
Senin, 17 September 2012
TIPS DAN TRICK LOLOS KE PIMNAS
Berbagi pengalaman aja. . . . .
tips trick lolos ke PIMNAS
1. Realisasikan Target PKM kalian (saat monev DIKTi min 85%)
unt PKMT, KC alat uda jalan dan diujikan secara nyata (klo judulnya
prototype baru cman prototype), PKMK barang uda harus terjual dan
mendapatkan keuntungan, PKMM telah melakukan pengabdian dan mendapatkan
feedback (misal diadakan post test dan pretest), PKMP sudah melakuakn
penelitian dengan mengasilkan metode dan atau produk baru.
2. Peran serta Team dan Pembimbing
kekompakan team memiliki nilai besar kalo bsa setiap anggota
mendapatkan Job Desk yang jelas sehingga saat ditanyai reviewer gag cman
1 orng. klo anggota bermasalah bsa diganti(ex. uda lulus), peran
pembimbing nilai point untuk lolos pun tinggi cara menunjukkannya dengan
mengisi Log Book sedetail mungkin dan jangan lupa dittd dospem.
DOWNLOAD LOG BOOK http:// d3tektro-its-sby.blogspot.com/ 2012/02/log-book-monev-pkm.html
3. Testimoni
testimoni adalah tanggapan pihak terkait bisa berupa Foto tpi yg leih
afdol pkek Video. testimoni ini nilainya tertinggi karena dianggap
berhasil atau tidaknya pkm apabila manfaatnya terasa bagi orang banyak.
4. Rencana kedepan atau jangka panjang
PKM kalian juga harus memiliki janga panjang bukan hanya setelah
terdanai selesai dan terhenti. ini merupakan nilai plus yg membedakan
PKM satu dengan yg lain. contoh jangka panjang misal PKMT mendapatkan
hak paten atau penerapan lebih lanjut pada mitra dan diperbanyak menjadi
produk jual. PKMK misal rencana penyebaran dan publikasi produk serta
penyajian yg lebih variatif. PKMM masyrakat yg dibina memiliki
kemampuan mandiri serta melakukan tindak lebih lanjut terhadap program.
PKMP penelitian disempurnakan dan diajukan PAPER atau jurnal ilmiah.
PKMKC aku belum tau cz mce baru.
5. buatlah time scedule yg teratur serta melakukan presentasi semenarik
mungkin. dan kalo bsa saat monev dikti alat yg dibuat didemokan atau
divideokan. . . .
terima kasih dan semoga dapat bermanfaat. Ayo semangat gulingkan gajah
dikandangnya serta birukan langit jogja dengan biru D3TEKTRO. . . .
BERJUANG DEMI KEJAYAAN. . . . .
SUMBER: http://d3tektro-its-sby.blogspot.com
Selasa, 17 Juli 2012
Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika
orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan
Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632,
Ad Daruquthni 385)
Dalam lafadz yang lain:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka
ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih
dalam Musnad-nya 238)
Derajat Hadits
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad
hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad
hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Faidah Hadits
Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang
setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan
gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya
adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu
mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib
mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran
dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash
Shahihah 1/443)
Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al
Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir,
2/106)
Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits
‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak
berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah
tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan
kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha
berdalil dengan hadits:
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس
“An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul
Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah
Ahadits Shahihah 1/444)
Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat
Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang
senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna
Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal
penentuan Ramadhan dan hari raya
adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama
para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri
kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan
waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang
adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau
kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada
kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan
baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan
kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang
wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan
pemerintah
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa,
lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh
bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al
jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan
al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal
namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan
sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah
As Sindi, 1/509).
Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan
penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang
dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:
«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud)
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ
يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari.
Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok
paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan
kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok
masyarakat.
Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu
atau kelompok
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:
Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini
yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam
satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan
adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun
dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat
jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain?
Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar
darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian.
Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada
yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam
satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap
shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah
agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan
mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di
Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak
karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang
imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه:
صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين،
ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع
ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم
صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka
Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama
Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua
raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya,
beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah
itu berbagai jalan (manhaj) telah
memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap
menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada
yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat
raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’”
Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini
dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.
Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi
orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti
para imam masjid. Terutama dalam shalat
witir di bulan Ramadhan, dengan
alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu
mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum
muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap
acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini
merenungkan ilmu yang kami
sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan
dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan
bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah
Ahadits Shahihah, 1/445)
Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah
penetapan puasa
Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan
kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa.
Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah
kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi
petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang
berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar
kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka
adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir
‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas,
merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul
Ahwazi, 3/313)
Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?
Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar
Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari
raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika
itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah.
Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait
hal ini.
Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan
mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah
kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di
akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya
berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya
sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan
keputusan pemerintah tersebut.
Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang
mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan
dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.
Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan
berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam
kebaikan semisal hadits
إنما الطاعة في المعروف
‘Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan’
dan hadits:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah’
Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu
lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk
mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa
menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh
pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog
ustadz aris munandar)
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
sumber: http://muslim.or.id/
Menyikapi Perbedaan dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan
Oleh: Ahmad Hanafi
DALAM syari’at
Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian
ibadahnya mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini
berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat) sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang
selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba
kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai
keberjamaahan yang sangat kental.
Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar;
Pertama: Ibadah Fardiyah (individual).
yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual
(perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan
hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga
sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan
thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat
sunnah rawatib dan yang lainnya.
Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu
ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara
berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari
raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang
lainnya.
Dalam aplikasinya ibadah jama’iyyah mempunyai beberapa batasan yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama; penetapan bahwa ibadah tersebut boleh dilakukan secara berjama’ah adalah tawqifiyah (belandaskan
wahyu). Artinya dalam hal ini seorang Muslim tidak dibenarkan
menetapkan bentuk sebuah ibadah menjadi ibadah jama’iyyah kecuali hal
tersebut didukung oleh dalil-dalil syari’at yang jelas.
Sebagai contoh sederhana: Sholat sunnah rawatib -baik sebelum atau
sesudah sholat fardhu- tidak boleh dilaksanakan dalam bentuk berjama’ah.
Begitu pula sebaliknya, ibadah yang telah disyari’atkan pelaksanaannya
secara berjama’ah maka tidak boleh dilakukan secara individual kecuali
ada dalil syar’i yang membolehkannya. Hal ini berangkat dari kaidah umum
dalam persoalan ibadah “al-Ashlu fi al-‘Ibaadat al-Tahriim”. Hukum asal penetapan sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.
Kedua; Ketaatan kepada Imam (Pemimpin) dalam Ibadah Jama’iyyah. Dalam
konteks sholat berjama’ah misalnya, ada imam dan ada makmum. Maka sang
makmum tidak boleh melakukan tindakan yang menyalahi posisinya sebagai
makmum yang menjadikan imam sebagai patokan dalam pelaksanaan ibadah
sholat. Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
إنما جعل الإمام ليؤتمّ به، فلا تختلفوا عليه
Artinya: “Seseorang dijadikan imam (dalam sholat) untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari No. 722 & Muslim No.414).
Tidak boleh seorang anggota jama’ah Jum’at melaksanakan sholat Jum’at
terlebih dahulu sebelum khatib selesai berkhutbah. Sebagaimana dilarang
mendirikan jama’ah baru dalam sebuah masjid sebelum jama’ah yang
sebelumnya selesai melaksanakan sholat berjamaahnya. Apalagi dalam jihad fi Sabilillah maka
seorang pasukan kaum Muslimin tidak boleh menyelisihi strategi dan
instruksi panglima perang yang ditunjuk. Dalam hal ini Perang Uhud (Thn
ke- 5 H) dapat dijadikan pelajaran penting betapa ketaatan kepada
pemimpin menjadi syarat utama sebuah kemenangan.
Ketiga; Dalam ibadah Jama’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan ijtihad maka keputusan akhir dikembalikan kepada imamah syar’i (kepemimpinan) atau otoritas yang ditunjuk dan disepakati dalam hal ini Waliy al-Amr kaum Muslimin, selama yang mereka putuskan tidak melanggar ketentuan dan kaidah-kaidah syariat.
Waliy al Amr dan Solusi Keberjamahan
Dalam skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut
sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam
sujud atau bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.
Dalam skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak
pelaksanaan ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang
jamaah haji meyakini berdasarkan ijtihadnya bahwa hari Arafah jatuh
sehari sebelum atau sesudah hari yang ditetapkan oleh otoritas yang
berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk melaksanakan wukuf sendirian
di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi apa yang ditetapkan
oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi),
karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan
persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.
Dalam sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu- patut
dijadikan teladan dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307)
bahwasanya Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan -Radhiyallahu’anhu-
melaksanakan sholat di Mina sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka
sahabat Abdullah Ibn Mas’ud pun menginkari hal tersebut seraya berkata:
“Aku (telah) ikut melaksanakan sholat di belakang Nabi
–Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar
dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat (diqashar),
kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak
diqashar).” Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang
Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau
(mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu
Jelek”. Keyakinan Ibnu Mas’ud bahwa sholat di Mina disyariatkan untuk
diqashar, tidak menghalangi beliau untuk tetap bermakmum di belakang
Amirul Mukminin Utsman ibn Affan yang melaksanakannya secara sempurna,
meskipun beliau tetap menginkari hal itu, tetapi karena itu adalah ibadah jama’iyyah maka keberjamaahan lebih harus didahulukan dari keyakinan pribadi.
Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah jama’iyyah dalam
syari’at Islam. Ia bersentuhan secara erat dengan makna keberjamaahan
baik dari sisi waktu pelaksanaannya, tatacaranya, bahkan dalam beberapa
sisi yang lain makna kebersamaan, persatuan, empati dan semangat berbagi
kepada sesama sangat menonjol dalam amaliyah Ramadhan, seperti: sholat
tarawih, sedekah dan zakat fitrah. Hal ini menunjukkah bahwa salah satu
di antara maqshad (tujuan) dan hikmah disyariatkannya ibadah
puasa Ramadhan adalah terwujudnya syiar kebersamaan (baca
keberjama’ahan) yang solid di antara komponen ummat Islam.
Dalam konteks keberjama’ahan ummat Islam Indonesia –sebagai negara
dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia- amatlah sangat
disayangkan dan disesalkan jika dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan
sering kali diwarnai oleh perbedaan antara beberapa komponen ummat
(baca: ormas Islam), tanpa ada usaha yang serius dalam mencari solusi
konkrit mengatasi perbedaan tersebut. Hal ini tentunya bertolak
belakang dengan visi keberjamaahan dan kebersamaan dalam ibadah puasa
Ramadhan itu sendiri.
Padahal jika ditelusuri lebih seksama, perbedaan tersebut dapat di atasi jika tiga karakteristik ibadah Jama’iyyah di
atas dapat diaplikasikan dengan penuh kedewasaan tanpa mengedepankan
sikap fanatik dan egoisme masing-masing ormas yang berbeda. Tentunya
dalam hal ini, peran Kementerian Agama dan MUI -sebagai pemegang mandat Waliy al-Amr seharusnya
dapat lebih tegas dalam menyikapi perbedaan ini. Hal ini tentunya
sejalan dengan tuntunan Nabi –Shallallahu’alaihi Wasallam- yang
bersabda:
الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون
Artinya: “Puasa (Ramadhan) adalah di saat kalian semuanya
berpuasa, dan (hari ‘Ied) fitri (berbuka dan tidak berpusa) adalah di
saat kalian semua ber’iedul fitri, dan hari berkurban (‘Ied al-Adha)
adalah di saat kalian semua berkurban.” (HR. Abu Dawud No. 2324,
al-Tirmidzy No. 697 & Ibn Majah No. 1660. Dan hadits ini disahihkan
oleh syekh al-Albaniy dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud 2/50 &
Shahih Sunan al-Tirmidzy 1/375).
Imam al-Tirmidzy berkata: “Makna (hadits) ini adalah bahwasanya
(pelaksanaan) puasa dan idul fitri dilakukan bersama jamaah dan
mayoritas manusia (kaum muslimin). (Sunan al-Tirmidzy, No. 697).
Imam al-Khattabiy berkata: “Makna hadits adalah bahwasanya kesalahan
dalam masalah ijtihad adalah perkara yang ditolerir dari ummat ini, jika
sekiranya satu kaum berijtihad lantas menggenapkan puasa mereka
sebanyak (30 hari) lantaran mereka tidak melihat hilal kecuali setelah
tanggal 30 (Ramadhan), kemudian terbukti bahwa (Ramadhan) hanya
berjumlah 29 hari. Maka puasa dan ‘Ied Fitri mereka tetap sah, dan tidak
ada dosa dan celaan buat mereka. Begitu juga dalam ibadah haji jika
sekiranya mereka salah dalam (menetapkan) hari Arafah maka mereka tidak
perlu mengulangi haji mereka, dan begitu juga dengan kurban mereka
hukumnya tetap sah, dan sesungguhnya ini merupakan salah satu bentuk
kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya.” (Dinukil oleh Ibn
al-Atsir dari al-Khattabiy dalam kitab Jami’ al-Ushul 6/378).
Apalagi jika setiap ormas Islam yang berbeda pendapat itu memahami makna salah satu kaidah fikih “Hukm al-Haakim Yarfa’ al-Khilaf” yang
bermakna Keputusan yang ditetapkan oleh hakim/pemerintah menyudahi
perbedaan yang didasarkan oleh perbedaan ijtihad. Wallahu Ta’ala A’lam
Wa Ahkam.*/Dir’iyyah, 19 Sya’ban 1433 H.
Mahasiswa S3 Jurusan Tsaqafah Islamiyah di King Saud University Riyadh
sumber: http://wahdah.or.id/
Sabtu, 30 Juni 2012
BEKAL PERSIAPAN MENUJU RAMADHAN
http://dapoerdesign.wordpress.com/2012/06/21/psr-1433-h
PENATARAN SEPUTAR RAMADHAN !!!
Bingung menentukan awal dan akhir Ramadhan?
Ingin tahu hukum-hukum berkenaan Puasa Ramadhan?
Sudah tahu amalan-amalan utama di bulan Ramadhan?
Berharap pahala berkali-kali lipat di Ramadhan tahun ini?
Mau tahu bagaimana Generasi Terbaik menyambut dan melewati Ramadhan mereka?
Temukan jawabannya dalam kegiatan akbar yang SPESIAL di TAHUN ini!!! Bersama RIBUAN MUSLIM dari Makassar dan sekitarnya dalam:
PENATARAN SEPUTAR RAMADHAN
1433H/2012M
“Menjadi Muslim Kaffah dalam Madrasah Ramadhan”
Msajid kampus UNHAS
17-18 Sya’ban 1433H/7-8 Juli 2012M
pukul 08.00-15.00
Pelaksana(LDK): lidmi&fmdk
(facebook)Penataran Seputar Ramadhan 1433 H
Ikhwa/laki-laki; 085656221334, akhwat/perempuan: 085255238850
PANITIA PSR 1433 H
Jumat, 29 Juni 2012
DARI SYA'BAN MENUJU RAMADHAN
Sya'ban: Bulan yang Sering Dilalaikan
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah,
Rabb semsta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
keluarga dan para sahabatnya.
Saudaraku, kaum muslimin! Bulan Rajab
telah berlalu meninggalkan kita. Sya'ban telah datang menggantikannya.
Sedangkan Ramadhan sudah berada di depan menunggu giliran. Maka sungguh
beruntung orang yang mengisi hidupnya untuk beribadah terutama pada
bulan-bulan yang mulia. Terus beristi'dad (bersiap diri) menyambut bulan
penuh berkah dan pahala besar dengan puasa dan amal shalih lainnya.
Pada dasarnya seluruh bulan, tahun,
siang dan malam, semuanya adalah waktu untuk beribadah dan beramal
shalih. Sementara takdir dan ajal kematian tetap berjalan pada
waktu-waktu tersebut. Hanya saja takdir dan ajal bagi masing-masing
insan tak ada yang tahu kecuali Dzat Yang menetapkannya. Maka orang
beruntung adalah yang memperhatikan siang dan malamnya untuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan amal shalih. Harapannya, semoga saat ajal
datang menjemput ia menjadi orang beruntung yang menutup umurnya dengan
husnul khatimah. Sehingga ia aman dari siksa kubur dan selamat dari
jilatan api neraka di akhriat. Dan sesungguhnya Allah tidak menjadikan
perintah beramal bagi seseorang usai dan berhenti kecuali dengan
kematian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. al-Hijr: 99)
Dan Allah tetap memerintahkan beramal selama mereka masih berada di negeri taklif, dunia. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)
Setiap kesibukan yang dilakoni seseorang
yang kosong dari ketaatan kepada Allah dan tidak mendapat ridha-Nya,
maka itu kegiatan yang merugi. Dan setiap waktu yang diisi dengan
kegiatan yang kosong dari dzikrullah dan mengingat hari akhirat maka
akan menjadi penyesalan baginya pada hari kiamat. Maka manusia terbaik
adalah yang panjang umurnya dan bagus amalnya. Sebaliknya, manusia
terburuk adalah orang yang panjang umurnya namun buruk amalnya.
. . Maka orang beruntung adalah yang memperhatikan siang dan malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amal shalih. Harapannya, semoga saat ajal datang menjemput ia menjadi orang beruntung yang menutup umurnya dengan husnul khatimah. . .
Sya'ban: Bulan yang Sering Dilalaikan
Pada bulan Sya'ban, umumnya, umat Islam
sibuk dengan persiapan-persiapan menyambut Ramadlan. Tetapi seringnya,
persiapan itu berkisar hanya masalah materi. Bagi pedagang, mereka sibuk
menyiapkan stok untuk menghadapi gebyar Ramadlan, yang biasanya sangat
ramai. Bagi panitia pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan
pengajian, biasanya diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng. Di
sebagian daerah malah ada yang mengadakan lebih buruk dari itu, yaitu padosan
(mandi bareng) yang terkonsentrasi di satu sungai, sumber air, sumur
keramat atau tempat lainnya yang di situ berkumpul laki-laki dan
perempuan. Mereka menyambut Ramadhan dengan kemaksiatan, khurafat, dan
keyakinan yang tak berdasar.
Ada juga kesimpulan konyol dari sebagian
masyarakat yang menjadikan Sya’ban sebagai bulan pelampiasan. Karena
mumpung belum Ramadhan, mereka puas-puaskan berbuat maksiat, “Mumpung
belum Ramadhan. Nanti kalau sudah Ramadhan, puasa kita bisa tidak sah”,
kalimat terkadang mampir ke telinga kita.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnul Hajar rahimahullah
berkata: "Dinamakan Sya'ban karena kesibukan mereka mencari air atau
sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia, dan dikatakan juga
selain itu." (al-Fath: 4/251)
Faidah Beribadah Saat Banyak Orang Lalai
Dari sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
di atas menunjukkan tentang anjuran mengerjakan ketaatan dan amal
ibadah pada waktu-waktu yang dilalaikan orang sebagaimana qiyamul lail
(shalat tahajjud), shalat dhuha saat matahari mendekati pertengahan
(shalat awwabin), berdzikir di pasar, dan semisalnya.
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya
melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang
dicintai di sisi Allah.” (Lathaif Al Ma’arif, 235)
Beribadah pada saat-saat yang banyak
dilalaikan orang akan lebih ikhlas sehingga pahalanya semakin besar.
Karena beribadah di saat itu akan lebih berat dirasakan oleh jiwa,
karena biasanya jiwa kita ini akan terpengaruh dengan apa yang
dilihatnya. Maka apabila banyak orang yang lalai, maka akan semakin
berat bagi jiwa untuk menjalankan ketaatan. Oleh sebab itu, secara umum,
meningkatkan ibadah pada bulan Sya'ban dan menjaga diri dari
ikut-ikutan manusia yang memanfaatkan aji mumpung sebelum Ramadhan
adalah sesuatu yang berat. Karenanya, maukah kita menjadi orang yang
istimewa di bulan in? Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
sumber: http://www.voa-islam.com
Rabu, 27 Juni 2012
PENYELESAIAN MASALAH DALAM KEHIDUPAN
Masalah akan selesai pada waktunya
Diterbitkan di: Arab, 20 Juni 2012 Penulis: Fuad Osman
Ketika umurnya sudah mencapai 34 tahun, baru dia terasa kesunyian dan timbul rasa ingin berkeluarga. Namun dia sadar dan merasakan ruang pilihannya sudah semakin kecil.
Pada beberapa minggu berikutnya dia dilamar oleh seorang pemuda yang lebih tua dua tahun darinya. Pertemuannya dengan pria tersebut sudah diatur dan kedua keluarga mereka sepakat untuk menikahkan mereka berdua.
Tapi pada suatu pagi secara tiba-tiba bakal ibu mertua menghubunginya dan menanyakan tanggal sebenar tahun kelahirannya. Kemudian bakal ibu mertuanya mengeluarkan satu kata-kata sinis "saya rasa kamu tidak sesuai untuk anak saya sebab saya takut kamu tidak bisa melahirkan untuk keluarga saya.
Pertunangan mereka akhirnya dibatalkan. Wanita tersebut merasakan dunianya sangat gelap saat itu. Hari-hari berikutnya dia kumpulkan semangat dan harapannya kepada Allah, dia gagahkan dirinya untuk mengerjakan umrah untuk mengobati luka di hatinya.
Dalam waktu dia tawaf umrah, dia melihat seorang wanita yang sudah berusia duduk dengan tenang di sudut Masjidil Haram. DIa mendengar wanita menyebut sepotong ayat yang berbunyi:
Itu adalah Fadlallah besar Anda) wanita: 113)
"Dan (ingatlah) karunia Allah kepadamu sangat besar".
Kemudian tidak semena-mena wanita tua tadi menarik tangannya sambil membaca sepotong ayat lagi:
Tuhan akan memberikan Fterdy) Dhuha: 5)
"Dan akan tiba waktunya pemberian tuhan-Mu kepadamu pasti kamu merasa puas meridhainya".
Air matanya tak segan-segan terus mengalir terusan membasahi pipi menginsafi bacaan ayat tadi. Setelah beberapa saat, perasaannya kembali tenang dan dia pasrah pada ketentuan Ilahi. Kemudian dia pun melangkah keluar dari Masjidil Haram.
Sewaktu dia keluar dari bandara di bumi kelahirannya, dia melihat seorang rekan karibnya bersama dengan suaminya berada diluar tempat menunggu. Dia pun bertanya: "Kamu tunggu siapa?. "Saya tunggu kawan suami saya" balasnya. Kemudian dia menunjukkan ke arah seorang pemuda. Rupanya pemuda itu satu pesawat dengannya.
Selang beberapa hari dia pulang dari umrah, dia mendapat panggilan dari rekan wanitanya.Teman karibnya itu mengundang beliau ke rumah. Di rumah rekan karibnya itu dia dperkenalkan kepada pria tempohari yang sama pesawat saat pulang dari umrah. Rupanya itulah jodohnya.Dia sangat bersyukur dengan karunia Allah tersebut.
Bila cukup setahun mereka menikah dia merasa khawatir karena belum ada tanda-tanda lagi dia mengandung. Dia berdiskusi dengan suaminya untuk membuat pemeriksaan. Pada hari mereka membuat pemeriksaan, rupanya ada satu kejutan dari dokter. Dokter tadi telah memberikan kabar gembira kepadanya karena badannya telah berisi sebenarnya ketika itu.
Namun ada satu lagi diluar jangkaannya karena setelah dia melahirkan anak, dokter yang menyambut bayinya kabar gembira bahwa dia mendapat anak kembar tiga.
Sesungguhnya kepada Tuhan mu kembali segalanya
Berhatil-Hatilah: JIka temukan doa Anda telah diperkenankan Allah maka ucapkanlah: الحمد لله بعزته وجلاله تتم الصالحات JIka doa Anda belum diperkenankan bacalah: الحمد لله على كل حال
sumber : http://ustfuadosman.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)