NOVEL AYAT-AYAT CINTA
“Mencintai-Nya
Menuntunku Pada Cintamu”
Fahri sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar
Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk
talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman,
seorang syaikh yang cukup tersohor di Mesir.
Dengan menaiki metro, Fahri berharap ia akan sampai tepat
waktu di Masjid Abu Bakar As-Shiddiq. Di metro itulah ia bertemu dengan Aisha.
Aisha yang saat itu dicacimaki dan diumpat oleh orang-orang Mesir karena
memberikan tempat duduknya pada seorang nenek berkewarganegaraan Amerika,
ditolong oleh Fahri. Pertolongan tulus Fahri memberikan kesan yang berarti pada
Aisha. Mereka pun berkenalan. Dan ternyata Aisha bukanlah gadis Mesir,
melainkan gadis Jerman yang juga tengah menuntut ilmu di mesir.
Di Mesir Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya
yang juga berasal drai Indonesia. Mereka adalah Siful, Rudi, Hamdi, dan Misbah.
Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana
lantai dasar menjadi temapt tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang
lanai atas ditemapati oleh keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi
tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed dan dua
oranga nak mereka, taitu Maria dan Yousef.
Walau keyakinan dan aqiqah mereka berbeda, tapi antara
keluarga Fahri dan Tuan Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Terlebih
Fahri dan Maria berteman begitu akarab. Fahri menyebut Maria sebagai gadis
koptik yang aneh. Bagaimana tidak, Maria mampu menghafal surat Al-Maidah dan
surat Maryam.
Selain bertetangga dengan keluarga Tuan Boutros, Fahri juga
mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perrangainya berbanding
seratusdelapan puluh derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini
bernama Bahadur. Istrinya bernama madame Syaima dan anak-anaknya bernama Mona,
Suzanna, dan Noura.
Bahadur, madame Syaima, Mona, dan Suzanna sering menyiksa
noura karena rupa serta warna rambut Noura yang berbeda dengan mereka. Noura
berkulit putih dan berambut pirang. Ya, nasib Noura memang malang.
Suatu malam Noura diusir Bahadur dari rumah. Noura diseret
ke jalan sembari dicambuk. Tangisannya memilukan. Fahri tidak tega melihat
Noura diperlakukan demikian oleh Bahadur. Ia meminta Maria melalui sms untuk
menolong Noura. Fahri tidak bisa menolong Noura secara langsung karena Noura
bukan muhrimnya. Maria pun bersedia menolong Noura malam itu. Ia membawa Noura
ke flatnya.
Fahri dan Maria berusaha mencari tahu siapa keluarga Noura
sebenarnya. Mereka yakin Noura bukanlah anak Bahadur dan madame Syaima.
Dan benar. Noura bukan anak mereka. Noura yang malang itu
akhirnya bisa berkumpul bersama orang-orang yang menyayanginya. Ia sangat
berterima kasih pada Fahri dan Maria.
Sementara
itu, Aisha tidak dapat melupakan pemuda yang baik hati mau menolongnya di metro
saat itu. Aisha rupanya jatuh hati pada Fahri. Ia meminta pamannya Eqbal untuk
menjodohkannya dengan Fahri. Kebetulan, paman Eqbal mengenal Fahri dan Syaik
Utsman. Melalui bantuan Syaik Utsman, Fahri pun bersedia untuk menikah dengan
Aisha.
Mendengar kabar pernikahan Fahri, Nurul menjadi sangat
kecewa. Paman dan bibinya sempat datang ke rumah Fahri untuk memberitahu bahwa
keponakannya sangat mencitai Fahri. Namun terlambat! Fahri akan segera menikah
dengan Aisha. Oh, malang benar nasib Nurul.
Dan pernikahan Fahri dengan Aisha pun berlangsung. Fahri dan
Aisha memutuskan untuk berbulanmadu di sebuah apartemen cantik selama beberapa
minggu.
Sepulang dari ‘bulanmadu’nya, Fahri mendapat kejutan dari
Maria dan Yousef. Maria dan adiknya itu datang ke rumah Fahri untuk memberikan
sebuah kado pernikahan. Namun Maria tampak lebih kurus dan murung. Memang, saat
Fahri dan Aisha menikah, keluarga Boutros sedang pergi berlibur. Alhasil,
begitu mendengar Fahri telah menjadi milik wanita lain dan tidak lagi tinggal
di flat, Maria sangat terpukul.
Kebahagian Fahri dan Aisha tidak bertahan lama karena Fahri
harus menjalani hukuman di penjara atas tuduhan pemerkosaan terhadap Noura.
Noura teramat terluka saat Fahri memutuskan untuk menikah dengan Aisha.
Di persidangan, Noura yang tengah hamil itu memberikan
kesaksian bahwa janin yang dikandungnya adalah anak Fahri. Pengacara Fahri
tidak dapat berbuat apa-apa karena ia belum memiliki bukti yang kuat untuk
membebaskan kliennya dari segala tuduhan. Fahri pun harus mendekam di bui
selama beberapa minggu.
Satu-satunya saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari
fitnah kejam Noura adalah Maria. Marialah yang bersama Noura malam itu (malam
yang Noura sebut dalam persidangan sebagai malam dimana Fahri memperkosanya).
Tapi Maria sedang terkulai lemah tak berdaya. Luka hati
karena cinta yang bertepuk sebelah tangan membuatnya jatuh sakit. Tidak ada
jalan lain. Atas desakan Aisha, Fahri pun menikahi Maria. Aisha berharap,
dengan mendengar suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri, Maria tersadar dari
koma panjangnya. Dan harapan Aisha menjadi kenyataan. Maria dapat membuka
matanya dan kemudian bersedia untuk memberikan kesaksian di persidangan.
Alhasil, Fahri pun terbebas dari tuduhan Noura. Dengan kata lain, Fahri dapat
meninggalkan penjara yang mengerikan itu.
Noura menyesal atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan jiwa
besar, Fahri memaafkan Noura. Dan, terungkaplah bahawa ayah dari bayi dalam
kandungan Noura dalah Bahadur.
Fahri, Aisha, dan Maria mampu menjalani rumah tangga mereka
dengan baik. Aisha menganggap Maria sebagai adiknya, demikian pula Maria yang
menghormati Aisha selayaknya seorang kakak. Tidak ada yang menduga jika maut
akhirnya merenggut Maria. Namun Maria beruntung karena sebelum ajal
menjemputnya, ia telah menjadi seorang mu’alaf.
Dari buku kita tahu bahwa Fahri selalu “menjaga diri” di
tengah wanita-wanita yang dekat dengannya. Hal itu Fahri lakukan karena rasa
cintanya pada Yang Maha Kuasa. Fahri berusaha konsisten dengan prinsip, dan
ajaran agama yang ia pegang teguh. Cinta Fahri pada agama dan Sang Khalik
menuntunnya pada cinta Aisha. Atas izin Allah Fahri dan Aisha bersatu di bawah
payung cinta yang tulus mengharapkan ridhaNya.
***
SITTI NURBAYA
(Kasih Tak Sampai)
Pengarang
: Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)
Sutan Mahmud Syah termasuk salah
seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang sangat disegani
dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri,
anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan
Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya,
Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara
keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik.
Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia
mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya
belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi
hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat
ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya
di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap
Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa
iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya
tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah
maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia
dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh
anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua
harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini
jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya,
kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa
prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan
mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat
“Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya.
Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada
Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan.
Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi
utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia
akan mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera
dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri
mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya
menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat
apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar
utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni hukuman. Pada saat
itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi
istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang
kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri
kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada
Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika
liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman
yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang
menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan
pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk
Meringgih. Sifat Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja
menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha
membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha
datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh
dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah
Samsulbahri yang merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya,
kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta.
Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan
tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia
tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke
Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang
menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya
terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya
ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia
kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya
berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu
Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal
dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai
juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh
diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat
Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini,
Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi
serdadu kompeni dengan pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan
nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin
mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar
orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat
bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan
pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja
melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang
itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas
mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya,
termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas.
Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia
terpaksa dirawat dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas
untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si
anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir
hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia
Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud
Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa
tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal
dunia pada keesokan harinya.
***
Pengarang: Andrea Herata
SD
Muhammadiyah (sekolah
penulis ini),
tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan
Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena
kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang
mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan
terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa
ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua,
Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga
sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan
terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud
Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot
yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.
Sekolah yang
dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu
miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap
bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak,
bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu
menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras,
sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya
dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu
guru menerima jahitan.
Kendati
demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak
seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama
kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP
(Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak
kecil miskin itu.
Dari waktu ke
waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar
percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan
sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas
muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi
kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung
sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu
mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan
cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin
itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban
terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi
mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai
puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan
Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN
dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol
sekolah-sekolah PN.
Tak ayal,
kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang,
siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah
padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena
ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.
Belitong
kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar
sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah
menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal
tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah
tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi,
dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati
para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara
sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat,
ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan
multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa
international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus
S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di
Inggris.
Semua itu,
buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu
Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar
dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.
Banyak hal-hal
inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan
membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru,
kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk
maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas.
Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa
pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir
cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang
pahlawan tanpa tanda jasa.
***