Oleh: Ahmad Hanafi
DALAM syari’at
Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian
ibadahnya mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini
berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat) sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang
selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba
kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai
keberjamaahan yang sangat kental.
Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar;
Pertama: Ibadah Fardiyah (individual).
yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual
(perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan
hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga
sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan
thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat
sunnah rawatib dan yang lainnya.
Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu
ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara
berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari
raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang
lainnya.
Dalam aplikasinya ibadah jama’iyyah mempunyai beberapa batasan yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama; penetapan bahwa ibadah tersebut boleh dilakukan secara berjama’ah adalah tawqifiyah (belandaskan
wahyu). Artinya dalam hal ini seorang Muslim tidak dibenarkan
menetapkan bentuk sebuah ibadah menjadi ibadah jama’iyyah kecuali hal
tersebut didukung oleh dalil-dalil syari’at yang jelas.
Sebagai contoh sederhana: Sholat sunnah rawatib -baik sebelum atau
sesudah sholat fardhu- tidak boleh dilaksanakan dalam bentuk berjama’ah.
Begitu pula sebaliknya, ibadah yang telah disyari’atkan pelaksanaannya
secara berjama’ah maka tidak boleh dilakukan secara individual kecuali
ada dalil syar’i yang membolehkannya. Hal ini berangkat dari kaidah umum
dalam persoalan ibadah “al-Ashlu fi al-‘Ibaadat al-Tahriim”. Hukum asal penetapan sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.
Kedua; Ketaatan kepada Imam (Pemimpin) dalam Ibadah Jama’iyyah. Dalam
konteks sholat berjama’ah misalnya, ada imam dan ada makmum. Maka sang
makmum tidak boleh melakukan tindakan yang menyalahi posisinya sebagai
makmum yang menjadikan imam sebagai patokan dalam pelaksanaan ibadah
sholat. Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
إنما جعل الإمام ليؤتمّ به، فلا تختلفوا عليه
Artinya: “Seseorang dijadikan imam (dalam sholat) untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari No. 722 & Muslim No.414).
Tidak boleh seorang anggota jama’ah Jum’at melaksanakan sholat Jum’at
terlebih dahulu sebelum khatib selesai berkhutbah. Sebagaimana dilarang
mendirikan jama’ah baru dalam sebuah masjid sebelum jama’ah yang
sebelumnya selesai melaksanakan sholat berjamaahnya. Apalagi dalam jihad fi Sabilillah maka
seorang pasukan kaum Muslimin tidak boleh menyelisihi strategi dan
instruksi panglima perang yang ditunjuk. Dalam hal ini Perang Uhud (Thn
ke- 5 H) dapat dijadikan pelajaran penting betapa ketaatan kepada
pemimpin menjadi syarat utama sebuah kemenangan.
Ketiga; Dalam ibadah Jama’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan ijtihad maka keputusan akhir dikembalikan kepada imamah syar’i (kepemimpinan) atau otoritas yang ditunjuk dan disepakati dalam hal ini Waliy al-Amr kaum Muslimin, selama yang mereka putuskan tidak melanggar ketentuan dan kaidah-kaidah syariat.
Waliy al Amr dan Solusi Keberjamahan
Dalam skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut
sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam
sujud atau bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.
Dalam skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak
pelaksanaan ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang
jamaah haji meyakini berdasarkan ijtihadnya bahwa hari Arafah jatuh
sehari sebelum atau sesudah hari yang ditetapkan oleh otoritas yang
berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk melaksanakan wukuf sendirian
di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi apa yang ditetapkan
oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi),
karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan
persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.
Dalam sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu- patut
dijadikan teladan dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307)
bahwasanya Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan -Radhiyallahu’anhu-
melaksanakan sholat di Mina sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka
sahabat Abdullah Ibn Mas’ud pun menginkari hal tersebut seraya berkata:
“Aku (telah) ikut melaksanakan sholat di belakang Nabi
–Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar
dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat (diqashar),
kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak
diqashar).” Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang
Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau
(mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu
Jelek”. Keyakinan Ibnu Mas’ud bahwa sholat di Mina disyariatkan untuk
diqashar, tidak menghalangi beliau untuk tetap bermakmum di belakang
Amirul Mukminin Utsman ibn Affan yang melaksanakannya secara sempurna,
meskipun beliau tetap menginkari hal itu, tetapi karena itu adalah ibadah jama’iyyah maka keberjamaahan lebih harus didahulukan dari keyakinan pribadi.
Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah jama’iyyah dalam
syari’at Islam. Ia bersentuhan secara erat dengan makna keberjamaahan
baik dari sisi waktu pelaksanaannya, tatacaranya, bahkan dalam beberapa
sisi yang lain makna kebersamaan, persatuan, empati dan semangat berbagi
kepada sesama sangat menonjol dalam amaliyah Ramadhan, seperti: sholat
tarawih, sedekah dan zakat fitrah. Hal ini menunjukkah bahwa salah satu
di antara maqshad (tujuan) dan hikmah disyariatkannya ibadah
puasa Ramadhan adalah terwujudnya syiar kebersamaan (baca
keberjama’ahan) yang solid di antara komponen ummat Islam.
Dalam konteks keberjama’ahan ummat Islam Indonesia –sebagai negara
dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia- amatlah sangat
disayangkan dan disesalkan jika dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan
sering kali diwarnai oleh perbedaan antara beberapa komponen ummat
(baca: ormas Islam), tanpa ada usaha yang serius dalam mencari solusi
konkrit mengatasi perbedaan tersebut. Hal ini tentunya bertolak
belakang dengan visi keberjamaahan dan kebersamaan dalam ibadah puasa
Ramadhan itu sendiri.
Padahal jika ditelusuri lebih seksama, perbedaan tersebut dapat di atasi jika tiga karakteristik ibadah Jama’iyyah di
atas dapat diaplikasikan dengan penuh kedewasaan tanpa mengedepankan
sikap fanatik dan egoisme masing-masing ormas yang berbeda. Tentunya
dalam hal ini, peran Kementerian Agama dan MUI -sebagai pemegang mandat Waliy al-Amr seharusnya
dapat lebih tegas dalam menyikapi perbedaan ini. Hal ini tentunya
sejalan dengan tuntunan Nabi –Shallallahu’alaihi Wasallam- yang
bersabda:
الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون
Artinya: “Puasa (Ramadhan) adalah di saat kalian semuanya
berpuasa, dan (hari ‘Ied) fitri (berbuka dan tidak berpusa) adalah di
saat kalian semua ber’iedul fitri, dan hari berkurban (‘Ied al-Adha)
adalah di saat kalian semua berkurban.” (HR. Abu Dawud No. 2324,
al-Tirmidzy No. 697 & Ibn Majah No. 1660. Dan hadits ini disahihkan
oleh syekh al-Albaniy dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud 2/50 &
Shahih Sunan al-Tirmidzy 1/375).
Imam al-Tirmidzy berkata: “Makna (hadits) ini adalah bahwasanya
(pelaksanaan) puasa dan idul fitri dilakukan bersama jamaah dan
mayoritas manusia (kaum muslimin). (Sunan al-Tirmidzy, No. 697).
Imam al-Khattabiy berkata: “Makna hadits adalah bahwasanya kesalahan
dalam masalah ijtihad adalah perkara yang ditolerir dari ummat ini, jika
sekiranya satu kaum berijtihad lantas menggenapkan puasa mereka
sebanyak (30 hari) lantaran mereka tidak melihat hilal kecuali setelah
tanggal 30 (Ramadhan), kemudian terbukti bahwa (Ramadhan) hanya
berjumlah 29 hari. Maka puasa dan ‘Ied Fitri mereka tetap sah, dan tidak
ada dosa dan celaan buat mereka. Begitu juga dalam ibadah haji jika
sekiranya mereka salah dalam (menetapkan) hari Arafah maka mereka tidak
perlu mengulangi haji mereka, dan begitu juga dengan kurban mereka
hukumnya tetap sah, dan sesungguhnya ini merupakan salah satu bentuk
kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya.” (Dinukil oleh Ibn
al-Atsir dari al-Khattabiy dalam kitab Jami’ al-Ushul 6/378).
Apalagi jika setiap ormas Islam yang berbeda pendapat itu memahami makna salah satu kaidah fikih “Hukm al-Haakim Yarfa’ al-Khilaf” yang
bermakna Keputusan yang ditetapkan oleh hakim/pemerintah menyudahi
perbedaan yang didasarkan oleh perbedaan ijtihad. Wallahu Ta’ala A’lam
Wa Ahkam.*/Dir’iyyah, 19 Sya’ban 1433 H.
Mahasiswa S3 Jurusan Tsaqafah Islamiyah di King Saud University Riyadh
sumber: http://wahdah.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar