Sabtu, 30 Juni 2012
Jumat, 29 Juni 2012
DARI SYA'BAN MENUJU RAMADHAN
Sya'ban: Bulan yang Sering Dilalaikan
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah,
Rabb semsta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
keluarga dan para sahabatnya.
Saudaraku, kaum muslimin! Bulan Rajab
telah berlalu meninggalkan kita. Sya'ban telah datang menggantikannya.
Sedangkan Ramadhan sudah berada di depan menunggu giliran. Maka sungguh
beruntung orang yang mengisi hidupnya untuk beribadah terutama pada
bulan-bulan yang mulia. Terus beristi'dad (bersiap diri) menyambut bulan
penuh berkah dan pahala besar dengan puasa dan amal shalih lainnya.
Pada dasarnya seluruh bulan, tahun,
siang dan malam, semuanya adalah waktu untuk beribadah dan beramal
shalih. Sementara takdir dan ajal kematian tetap berjalan pada
waktu-waktu tersebut. Hanya saja takdir dan ajal bagi masing-masing
insan tak ada yang tahu kecuali Dzat Yang menetapkannya. Maka orang
beruntung adalah yang memperhatikan siang dan malamnya untuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan amal shalih. Harapannya, semoga saat ajal
datang menjemput ia menjadi orang beruntung yang menutup umurnya dengan
husnul khatimah. Sehingga ia aman dari siksa kubur dan selamat dari
jilatan api neraka di akhriat. Dan sesungguhnya Allah tidak menjadikan
perintah beramal bagi seseorang usai dan berhenti kecuali dengan
kematian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. al-Hijr: 99)
Dan Allah tetap memerintahkan beramal selama mereka masih berada di negeri taklif, dunia. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)
Setiap kesibukan yang dilakoni seseorang
yang kosong dari ketaatan kepada Allah dan tidak mendapat ridha-Nya,
maka itu kegiatan yang merugi. Dan setiap waktu yang diisi dengan
kegiatan yang kosong dari dzikrullah dan mengingat hari akhirat maka
akan menjadi penyesalan baginya pada hari kiamat. Maka manusia terbaik
adalah yang panjang umurnya dan bagus amalnya. Sebaliknya, manusia
terburuk adalah orang yang panjang umurnya namun buruk amalnya.
. . Maka orang beruntung adalah yang memperhatikan siang dan malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amal shalih. Harapannya, semoga saat ajal datang menjemput ia menjadi orang beruntung yang menutup umurnya dengan husnul khatimah. . .
Sya'ban: Bulan yang Sering Dilalaikan
Pada bulan Sya'ban, umumnya, umat Islam
sibuk dengan persiapan-persiapan menyambut Ramadlan. Tetapi seringnya,
persiapan itu berkisar hanya masalah materi. Bagi pedagang, mereka sibuk
menyiapkan stok untuk menghadapi gebyar Ramadlan, yang biasanya sangat
ramai. Bagi panitia pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan
pengajian, biasanya diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng. Di
sebagian daerah malah ada yang mengadakan lebih buruk dari itu, yaitu padosan
(mandi bareng) yang terkonsentrasi di satu sungai, sumber air, sumur
keramat atau tempat lainnya yang di situ berkumpul laki-laki dan
perempuan. Mereka menyambut Ramadhan dengan kemaksiatan, khurafat, dan
keyakinan yang tak berdasar.
Ada juga kesimpulan konyol dari sebagian
masyarakat yang menjadikan Sya’ban sebagai bulan pelampiasan. Karena
mumpung belum Ramadhan, mereka puas-puaskan berbuat maksiat, “Mumpung
belum Ramadhan. Nanti kalau sudah Ramadhan, puasa kita bisa tidak sah”,
kalimat terkadang mampir ke telinga kita.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnul Hajar rahimahullah
berkata: "Dinamakan Sya'ban karena kesibukan mereka mencari air atau
sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia, dan dikatakan juga
selain itu." (al-Fath: 4/251)
Faidah Beribadah Saat Banyak Orang Lalai
Dari sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
di atas menunjukkan tentang anjuran mengerjakan ketaatan dan amal
ibadah pada waktu-waktu yang dilalaikan orang sebagaimana qiyamul lail
(shalat tahajjud), shalat dhuha saat matahari mendekati pertengahan
(shalat awwabin), berdzikir di pasar, dan semisalnya.
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya
melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang
dicintai di sisi Allah.” (Lathaif Al Ma’arif, 235)
Beribadah pada saat-saat yang banyak
dilalaikan orang akan lebih ikhlas sehingga pahalanya semakin besar.
Karena beribadah di saat itu akan lebih berat dirasakan oleh jiwa,
karena biasanya jiwa kita ini akan terpengaruh dengan apa yang
dilihatnya. Maka apabila banyak orang yang lalai, maka akan semakin
berat bagi jiwa untuk menjalankan ketaatan. Oleh sebab itu, secara umum,
meningkatkan ibadah pada bulan Sya'ban dan menjaga diri dari
ikut-ikutan manusia yang memanfaatkan aji mumpung sebelum Ramadhan
adalah sesuatu yang berat. Karenanya, maukah kita menjadi orang yang
istimewa di bulan in? Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
sumber: http://www.voa-islam.com
Rabu, 27 Juni 2012
PENYELESAIAN MASALAH DALAM KEHIDUPAN
Masalah akan selesai pada waktunya
Diterbitkan di: Arab, 20 Juni 2012 Penulis: Fuad Osman
Ketika umurnya sudah mencapai 34 tahun, baru dia terasa kesunyian dan timbul rasa ingin berkeluarga. Namun dia sadar dan merasakan ruang pilihannya sudah semakin kecil.
Pada beberapa minggu berikutnya dia dilamar oleh seorang pemuda yang lebih tua dua tahun darinya. Pertemuannya dengan pria tersebut sudah diatur dan kedua keluarga mereka sepakat untuk menikahkan mereka berdua.
Tapi pada suatu pagi secara tiba-tiba bakal ibu mertua menghubunginya dan menanyakan tanggal sebenar tahun kelahirannya. Kemudian bakal ibu mertuanya mengeluarkan satu kata-kata sinis "saya rasa kamu tidak sesuai untuk anak saya sebab saya takut kamu tidak bisa melahirkan untuk keluarga saya.
Pertunangan mereka akhirnya dibatalkan. Wanita tersebut merasakan dunianya sangat gelap saat itu. Hari-hari berikutnya dia kumpulkan semangat dan harapannya kepada Allah, dia gagahkan dirinya untuk mengerjakan umrah untuk mengobati luka di hatinya.
Dalam waktu dia tawaf umrah, dia melihat seorang wanita yang sudah berusia duduk dengan tenang di sudut Masjidil Haram. DIa mendengar wanita menyebut sepotong ayat yang berbunyi:
Itu adalah Fadlallah besar Anda) wanita: 113)
"Dan (ingatlah) karunia Allah kepadamu sangat besar".
Kemudian tidak semena-mena wanita tua tadi menarik tangannya sambil membaca sepotong ayat lagi:
Tuhan akan memberikan Fterdy) Dhuha: 5)
"Dan akan tiba waktunya pemberian tuhan-Mu kepadamu pasti kamu merasa puas meridhainya".
Air matanya tak segan-segan terus mengalir terusan membasahi pipi menginsafi bacaan ayat tadi. Setelah beberapa saat, perasaannya kembali tenang dan dia pasrah pada ketentuan Ilahi. Kemudian dia pun melangkah keluar dari Masjidil Haram.
Sewaktu dia keluar dari bandara di bumi kelahirannya, dia melihat seorang rekan karibnya bersama dengan suaminya berada diluar tempat menunggu. Dia pun bertanya: "Kamu tunggu siapa?. "Saya tunggu kawan suami saya" balasnya. Kemudian dia menunjukkan ke arah seorang pemuda. Rupanya pemuda itu satu pesawat dengannya.
Selang beberapa hari dia pulang dari umrah, dia mendapat panggilan dari rekan wanitanya.Teman karibnya itu mengundang beliau ke rumah. Di rumah rekan karibnya itu dia dperkenalkan kepada pria tempohari yang sama pesawat saat pulang dari umrah. Rupanya itulah jodohnya.Dia sangat bersyukur dengan karunia Allah tersebut.
Bila cukup setahun mereka menikah dia merasa khawatir karena belum ada tanda-tanda lagi dia mengandung. Dia berdiskusi dengan suaminya untuk membuat pemeriksaan. Pada hari mereka membuat pemeriksaan, rupanya ada satu kejutan dari dokter. Dokter tadi telah memberikan kabar gembira kepadanya karena badannya telah berisi sebenarnya ketika itu.
Namun ada satu lagi diluar jangkaannya karena setelah dia melahirkan anak, dokter yang menyambut bayinya kabar gembira bahwa dia mendapat anak kembar tiga.
Sesungguhnya kepada Tuhan mu kembali segalanya
Berhatil-Hatilah: JIka temukan doa Anda telah diperkenankan Allah maka ucapkanlah: الحمد لله بعزته وجلاله تتم الصالحات JIka doa Anda belum diperkenankan bacalah: الحمد لله على كل حال
sumber : http://ustfuadosman.blogspot.com
Senin, 25 Juni 2012
AMBO DALLE PEJUANG DAKWAH DARI TANAH BUGIS
Ambo Dalle Sang Ulama' Asal Bugis
Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?
Anregurutta (guru--Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.
Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat(Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.
Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi namaAl-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya
Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun 'budaya tauhid'.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak,balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma'rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalilnaqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya'i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi'yarif Ulum. (Republika)
SUMBER: http://www.suaramedia.com
Sabtu, 23 Juni 2012
PERSIAPAN MENUJU BULAN RAMADHAN
UNTUKMU WAHAI PARA PERINDU RAMADHAN
Apabila benar Anda rindu, Anda akan mencium bau Ramadhan dari jauh, seperti Ya'qub Alaihissalam mencium bau Yusuf
Alaihissalam karena kerinduan yang menggelora pada puteranya itu.
Sekiranya Anda mencium Ramadhan dan Anda kenakan 'pakaiannya', nescaya hati Anda akan kembali melihat. Seperti pandangan Nabi Ya'qub, terbebas dari kebutaan kerana mencium aroma baju Nabi Yusuf.
Jika benar Anda rindu Ramadhan, Anda akan membuat persiapan menyambutnya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman:
"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka, "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (QS. At-Taubah: 46).
Ibnul Qayyim—rahimahullah—berkata, "Berhati-hatilah terhadap dua perkara. Pertama: Kewajiban telah datang, tetapi kalian tidak siap untuk menjalankannya, sehingga kalian mendapat hukuman berupa kelemahan untuk memenuhinya dan kehinaan dengan tidak mendapatkan pahalanya…."
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya:
"Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, "Kamu tidak boleh keluar bersamaku selamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Kerana itu, duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang." (QS. At-Taubah: 83).
Kita haruslah berhati-hati dari mengalami nasib seperti ini, yaitu menjadi orang yang tidak berhak menjalankan perintah Allah Subhaanahu Wata’ala yang penuh berkah. seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman, berupa tertutupnya hati dari hidayah.
Allah Azza Wajalla berfirman, artinya:
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya ." (QS. Al An'am: 110).
Itulah sebabnya pentingnya persiapan dalam menyambut kedatangan Ramadhan, sehingga kita tidak dihukum dengan tidak berdayanya kita dalam melakukan kebaikan dan kehinaan dengan tidak boleh menambah ketaatan.
Mari kita renungkan kembali ayat-ayat di atas. Allah Subhaanahu Wata’ala tidak menyukai keberangkatan mereka lalu Allah lemahkan mereka. Karena tidak ada persiapan dari mereka dan niat mereka pun tidak lurus.
Namun, apabila seseorang bersiap untuk menunaikan suatu amal, dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah tidak menolah menolak hambanya yang datang menghadap-Nya. Sehingga dahulu, generasi salafush shaleh selalu mempersiapkan diri-diri mereka dalam
menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Pada enam bulan sebelum Ramadhan, mereka berdoa agar sampai di bulan Ramadhan. Kemudian pada enam bulan setelah Ramadhan, mereka berdoa agar kembali bertemu Ramadhan. Sehingga sepanjang tahun, kehidupan mereka nuansanya adalah Ramadhan.
Antara Rajab, Sya'ban dan Ramadhan
Buatlah persiapan menyambut Ramadhan. Aisyah—radhiyallahu 'anha—berkata,
لَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطٌّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبِانَ، كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كَلَّهُ
"Saya
sama sekali belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam berpuasa dalam satu bulan, sebanyak yang beliau lakukan di
bulan Sya'ban. Di dalamnya, beliau berpuasa sebulan penuh." (HR.
Muslim).
Menurut riwayat lain, "Beliau berpuasa di bulan Sya'ban kecuali sedikit hari."
Menurut riwayat lain, "Beliau berpuasa di bulan Sya'ban kecuali sedikit hari."
Kerananya, bersiaplah dengan banyak berpuasa, agar jiwa terbiasa
dengan puasa. Lakukanlah shalat malam di bulan Sya'ban. Perbanyakanlah
membaca Al Qur'an. Perbanyaklah dzikir kepada Allah Subhaanahu Wata’ala
sebagai pengantar memasuki Ramadhan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Rajab adalah bulan persemaian. Sya'ban adalah bulan pengairan. Adapun Ramadhan, ia adalah bulan memetik buah. Agar buah dapat dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun.
Perbarui Taubat
Persiapan lain untuk menyambut Ramadhan adalah taubat. Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala mengaruniakan taubat nasuha kepada kita agar Ia ridha. Karena taubat wajib dilakukan seorang hamba setiap saat.
Allah Azza Wajalla berfirman, artinya:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur: 31).
Agungkan Perintah dan Larangan Allah Subhaanahu Wata’ala
Kita harus memiliki rasa kuatir yang besar, jika kita tetap tidak terbebas dari api neraka meski telah melewati Ramadhan. Bagaimana nasib Bani Israil, tatkala mereka tidak menghormati perintah Allah Azza Wajalla untuk tidak mencari ikan di hari Sabtu? Allah Sunhaanahu Wata’ala mengubah mereka menjadi kera.
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina." (QS. Al A'raf: 166).
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah: 183).
Ini adalah perintah, kewajiban sekaligus ritual yang agung. Barangsiapa mengagungkannya, dia adalah orang bertakwa. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (QS. Al Hajj: 32).
Secara fitrah, hati manusia membenci kemaksiatan. Tetapi sebagaimana diketahui, fitrah bisa berubah-ubah. Karenanya, sebelum Ramadhan datang, kita harus berusaha mengembalikan fitrah ini ke dalam hati bila ia telah hilang, atau memperkuatnya bila telah melemah.
Dengannya, seseorang menjadi enggan bermaksiat kepada Allah, khususnya setelah merasakan kondisi keimanan di tengah ibadah puasa. Agar hati terlatih bersikap enggan terhadap maksiat sebelum Ramadhan datang.
Seseorang harus berbaur dengan nilai-nilai ruhiyah yang tinggi, agar hati mengingkari dan berhati-hati atas segala bentuk maksiat, baik lisan, penglihatan, perasaan, maupun anggota badan. Ia juga harus berbaur dengan perenungan Al Qur'an dan pemahaman zikir, mencoba merasakan kelezatan munajat dan tunduk di hadapan Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kesiapan seseorang untuk menyambut Ramadhan ditandai dengan sikap enggan terhadap maksiat. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak puasa dan membaca Al Qur'an. Orang yang berakal tidak akan terbayang untuk melakukan maksiat ketika sibuk dengan ketaatan.
Latih Kepekaan Pancaindera
Biasakanlah pancaindera dengan ketaatan. Latih mata untuk melihat mushaf, hindarkan dari memandang yang haram. Latih telinga mendengar Al Qur'an, mendengar ilmu. Hindarkan dari mendengar nyanyian-nyanyian haram, perkataan dusta, keji, dan kotor. Biasakan lidah memperbanyak zikir, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, berkata jujur dan menyampaikan nasihat kepada kaum Mukmin.
Manusia akan bertanggung jawab atas anggota badan dan inderanya ini pada hari kiamat.
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Isra': 36).
Kerana, pancaindera harus dilatih sebagai bentuk persiapan, agar ia tunduk kepada Anda pada bulan Ramadhan. Anda pun akan mudah mengendalikannya.
Perbanyak Puasa pada Bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah—radhiyallahu ‘anha, berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa hingga kami mengatakan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah puasa. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim).
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang diharamkan mendapatkan berkah Ramadhan karena Ramadhan telah di depan mata, namun kita belum melakukan persiapan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Rajab adalah bulan persemaian. Sya'ban adalah bulan pengairan. Adapun Ramadhan, ia adalah bulan memetik buah. Agar buah dapat dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun.
Perbarui Taubat
Persiapan lain untuk menyambut Ramadhan adalah taubat. Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala mengaruniakan taubat nasuha kepada kita agar Ia ridha. Karena taubat wajib dilakukan seorang hamba setiap saat.
Allah Azza Wajalla berfirman, artinya:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur: 31).
Agungkan Perintah dan Larangan Allah Subhaanahu Wata’ala
Kita harus memiliki rasa kuatir yang besar, jika kita tetap tidak terbebas dari api neraka meski telah melewati Ramadhan. Bagaimana nasib Bani Israil, tatkala mereka tidak menghormati perintah Allah Azza Wajalla untuk tidak mencari ikan di hari Sabtu? Allah Sunhaanahu Wata’ala mengubah mereka menjadi kera.
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina." (QS. Al A'raf: 166).
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah: 183).
Ini adalah perintah, kewajiban sekaligus ritual yang agung. Barangsiapa mengagungkannya, dia adalah orang bertakwa. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (QS. Al Hajj: 32).
Secara fitrah, hati manusia membenci kemaksiatan. Tetapi sebagaimana diketahui, fitrah bisa berubah-ubah. Karenanya, sebelum Ramadhan datang, kita harus berusaha mengembalikan fitrah ini ke dalam hati bila ia telah hilang, atau memperkuatnya bila telah melemah.
Dengannya, seseorang menjadi enggan bermaksiat kepada Allah, khususnya setelah merasakan kondisi keimanan di tengah ibadah puasa. Agar hati terlatih bersikap enggan terhadap maksiat sebelum Ramadhan datang.
Seseorang harus berbaur dengan nilai-nilai ruhiyah yang tinggi, agar hati mengingkari dan berhati-hati atas segala bentuk maksiat, baik lisan, penglihatan, perasaan, maupun anggota badan. Ia juga harus berbaur dengan perenungan Al Qur'an dan pemahaman zikir, mencoba merasakan kelezatan munajat dan tunduk di hadapan Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kesiapan seseorang untuk menyambut Ramadhan ditandai dengan sikap enggan terhadap maksiat. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak puasa dan membaca Al Qur'an. Orang yang berakal tidak akan terbayang untuk melakukan maksiat ketika sibuk dengan ketaatan.
Latih Kepekaan Pancaindera
Biasakanlah pancaindera dengan ketaatan. Latih mata untuk melihat mushaf, hindarkan dari memandang yang haram. Latih telinga mendengar Al Qur'an, mendengar ilmu. Hindarkan dari mendengar nyanyian-nyanyian haram, perkataan dusta, keji, dan kotor. Biasakan lidah memperbanyak zikir, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, berkata jujur dan menyampaikan nasihat kepada kaum Mukmin.
Manusia akan bertanggung jawab atas anggota badan dan inderanya ini pada hari kiamat.
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Isra': 36).
Kerana, pancaindera harus dilatih sebagai bentuk persiapan, agar ia tunduk kepada Anda pada bulan Ramadhan. Anda pun akan mudah mengendalikannya.
Perbanyak Puasa pada Bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah—radhiyallahu ‘anha, berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa hingga kami mengatakan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah puasa. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim).
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang diharamkan mendapatkan berkah Ramadhan karena Ramadhan telah di depan mata, namun kita belum melakukan persiapan.
(Disarikan dari "Asraarul Muhibbiin fii Ramadhan"
karya Syekh Muhammad Husain Ya'qub/Al Fikrah Edisi18, 16 Juli 2010)
SUMBER: http://www.wahdah.or.id
Jumat, 22 Juni 2012
TENTANG BULAN SYA'BAN
Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata yang didalam kurung [...] adalah kesimpulan dari kami. [2] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 248.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/188.
[6] Idem.
[7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “Ihyaul Lail”.
[9] Lathoif Al Ma’arif, 247-248.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 23/132.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190.
[13] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.
[14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678.
SUMBER: www.muslim.or.id
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu
Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau
orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no.
1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’
(terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ
حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت
حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا
عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ،
قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ
مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ
الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka
bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku
bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak
dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan
merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai
Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai
Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu
yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam
apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban,
lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan
dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari
orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan
bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’
mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if
karena terputus sanadnya]Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى
جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ
خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban.
Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang
bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath
dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu
Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu
Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari
Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang
tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi
lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.”
[Hadits ini adalah hadits yang dho’if]Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ
لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu
Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang
yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri
mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang
layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun
haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”.
Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits
ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad
yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath
Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى
عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ
وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى
يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan
mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia
meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini
juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti
hadits ini pun dho’if].Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا
مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا
أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi
pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah
orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya?
Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah
orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang
begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin
‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani.
Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula
Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits,
sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan
mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak
Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam
Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai
mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti
hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu
Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau
orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah
bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam
Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya,
“Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu
Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam
(bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu
‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah
mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka
hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang
menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam
berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu
sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
- Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
- Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
- Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
- Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
- Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata yang didalam kurung [...] adalah kesimpulan dari kami. [2] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 248.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/188.
[6] Idem.
[7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “Ihyaul Lail”.
[9] Lathoif Al Ma’arif, 247-248.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 23/132.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190.
[13] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.
[14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678.
SUMBER: www.muslim.or.id
Selasa, 19 Juni 2012
soal final akuntansi pemeriksaan
Dewan Sertifikasi Institut Akuntan Publik Indonesia
Contoh Soal Ujian Indonesia CPA
I. Soal Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Soal Pilihan Ganda
1. Apa konsep dasar yang mendukung pengakuan atas kerugian kontinjen?
a. Substansi mengungguli bentuk
b. Konsistensi
c. Matching
d. Kehati-hatian (conservatism)
Jawaban: d
2. Bila metode ekuitas dipergunakan untuk mencatat investasi dalam saham biasa,
mana hal berikut ini yang akan mempengaruhi laporan penghasilan investor
Perubahan Nilai Pasar Dividen Kas
atas saham biasa investee dari investee
a. Ya Ya
b. Ya Tidak
c. Tidak Ya
d. Tidak Tidak
Jawaban: d
3. Sebuah mesin dengan perkiraan umur ekonomis selama 5 tahun dengan
perkiraan nilai sisa sebesar 10% diperoleh pada tanggal 1 Januari 20X4.
Akumulasi penyusutan pada tanggal 31 Desember 20x7 dengan menggunakan
metode sum-of-the year’s-digits method adalah
a. (Harga perolehan dikurangi perkiraan nilai sisa) dikalikan dengan 1/15
b. (Harga perolehan dikurangi perkiraan nilai sisa) dikalikan dengan 14/15
c. Harga perolehan dikalikan dengan 14/15
d. Harga perolehan dikalikan dengan 1/15
Jawaban: b
Soal Nomor 4-5 berdasarkan berikut ini
Dalam menyiapkan laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31
Desember 20x4, PT Rico memiliki data berikut ini (semua angka dalam Rp.juta)
untuk laporan arus kas pada tanggal 31 Desember 20x4:
Keuntungan dari penjualan peralatan (6.000)
Penerimaan kas dari penjualan peralatan 10.000
Pembelian Surat Utang (bond) PT ABC
(nilai par 200.000) (180.000)
Amortisasi diskonto bond 2.000
Dividen yang diumumkan (45.000)
Dividen yang dibayar (38.000)
Penerimaan dari penjualan Treasury stock
(nilai tercatat 65.000) 75.000
4. Berapa nilai yang harus dilaporkan sebagai kas bersih untuk aktivitas investasi
dalam laporan PT Rico?
a. 170.000
b. 176.000
c. 188.000
d. 194.000
Jawaban: a
5. Berapa nilai yang harus dilaporkan sebagai kas bersih dari aktivitas pendanaan
a. 20.000
b. 27.000
c. 30.000
d. 37.000
Jawaban: d
II. Soal Auditing & Assurance
Soal Pilihan Ganda
1. Surat penugasan audit (engagement letter) kemungkinan akan termasuk berikut
ini
a. Pernyataan manajemen atas tanggung jawabnya untuk memelihara
pengendalian iternal yang efektif
b. Penilaian awal auditor atas faktor risiko atas kesalahan (misstatement)
yang timbul dari kecurangan atas pelaporan keuangan
c. Untuk mengingatkan bahwa manajemen bertanggung jawab atas tindakan
melanggar hukum yang dilakukan oleh karyawan
d. Permintaan ijin untuk menghubungi penasihat hukum (lawyer) klien untuk
mendapatkan bantuan dalam mengidentifikasi tuntutan dan perkara
hukum
Jawaban: a
2. Mana prosedur audit berikut ini yang memberikan bukti audit yang paling bisa
dipercaya
a. Melakukan tanya jawab dengan staff internal audit perusahaan secara
pribadi
b. Melakukan inspeksi purchase order klien yang telah dinomori terlebih
dahulu yang disimpan oleh bagian hutang
c. Prosedur analitik yang dilakukan oleh auditor atas neraca percobaan
entitas
d. Melakukan inspeksi atas rekening koran (bank statement) yang diperoleh
secara langsung dari institusi keuangan perusahaan
Jawaban: d
3. Dalam melakukan pengujian saldo aset tetap, seorang auditor mungkin
melakukan pengujian terhadap penambahan aktiva tetap yang tercantum dalam
daftar aktiva tetap. Prosedur ini didesain untuk memperoleh bukti sehubungan
dengan asersi manajemen berikut ini
Keberadaan atau Penyajian dan
Kejadian Pengungkapan
a. Ya Ya
b. Ya Tidak
c. Tidak Ya
d. Tidak Tidak
Jawaban: b
4. Tingkat penyimpangan populasi yang diharapkan dari kesalahan penagihan klien
adalah 2%. Auditor telah menentukan tingkat yang bisa ditolerir sebesar 3%.
Dalam melakukan review atas faktur klien auditor harus menggunakan
a. Stratified sampling
b. Discovery sampling
c. Variable sampling
d. Attribute sampling
Jawaban: d
5 Laporan akuntan yang menyatakan pendapat atas pengendalian internal suatu
entitas harus menyatakan bahwa
a. Hanya pengendalian dimana akuntan bermaksud untuk mempercainya
akan direview, diuji dan dievaluasi
b. Pengujian telah dilakukan sesuai dengan standard yang dibuat oleh IAPI
c. Pemahaman dan evaluasi atas pengendalian internal telah dilakukan
sesuai dengan standar auditing yang diterima umum
d. Distribusi laporan hanya terbatas untuk digunakan oleh manajemen,
dewan direksi dan dewan komisaris.
Jawaban: b
Stadion-Stadion Mewah di Qatar
Desain Mewah Stadion-Stadion di Qatar
Qatar telah resmi ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Kendati masa 10 tahun lagi, namun salah satu negeri terkaya di Timur Tengah itu sudah mempersiapkan diri untuk memberikan yang terbaik bagi setiap kontestan peserta Piala Dunia. Tentu saja bukan hanya peserta, tapi juga penonton yang datang ke stadion.
Qatar sudah menyiapkan sejumlah stadion dengan desain arsitekturnya yang sangat fantastis. Bentuknya yang elegan, mewah, dan mengagumkan. Tak salah bila negara ini dijuluki sebagai negara terkaya di dunia.
Dengan desain dan rancangan yang serba menarik itu, diyakini perhelatan Piala Dunia di Timur Tengah itu akan semakin mengagumkan.
Sebelum ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, Qatar harus bersaing ketat dengan Jepang. Namun, dengan kekayaan yang dimilikinya, maka Qatar mampu menarik minat penentu kebijakan untuk menunjuknya menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Selain suguhan stadion, Qatar tentu akan menunjukkan yang lebih. Walau sempat ada pertentangan karena dinilai menjadi tempat atau wilayahnya yang panas, Qatar sudah menyiapkan awan buatan untuk melindungi penonton dari panas. (syafik).
Doha Port Stadium di Doha. Akan dibangun. Kapasitas: 44.950
El-Gharafa Stadium di Al-Rayyan. Perlu renovasi. Kapasitas: 44.740
Al-Shamal Stadium di Al-Shamal. Akan dibangun. Kapasitas: 45.120
Al-Khor Stadium di Al-Khor. Akan dibangun. Kapasitas: 45.330
Umm Slal Stadium di Umm Slal. Akan dibangun. Kapasitas: 45.120
Education City Stadium di Al-Rayyan. Akan dibangun. Kapasitas: 45.350
Khalifa International Stadium di Al-Rayyan. Perlu renovasi. Kapasitas: 68.030
Al-Wakrah Stadium di Al-Wakrah. Akan dibangun. Kapasitas: 45.120
Al-Rayyan Stadium di Al-Rayyan. Perlu renovasi. Kapasitas: 44.740
Qatar University Stadium di Doha. Akan dibangun. Kapasitas: 43.520
Sports City Stadium di Doha. Akan dibangun. Kapasitas: 47.560
Lusail Iconic Stadium di Al-Daayen. Akan dibangun. Kapasitas: 86.250
sumber : http://kerendanunik.wordpress.com
Langganan:
Postingan (Atom)