Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam
Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah.
Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam
berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu
bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan
tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah
menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam
Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat
beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban,
keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada
ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“
Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu
Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau
orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no.
1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’
(terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ
حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت
حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا
عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ،
قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ
مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ
الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“
Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka
bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku
bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak
dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan
merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai
Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai
Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu
yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam
apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban,
lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan
dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari
orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan
bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’
mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if
karena terputus sanadnya]
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى
جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ
خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“
Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban.
Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang
bermusuhan.”Al Mundziri dalam
At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam
Al Awsath
dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu
Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu
Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari
Abu Bakr Ash Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang
tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi
lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.”
[Hadits ini adalah hadits yang dho’if]
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ
لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“
Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu
Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang
yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri
mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang
layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun
haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“
Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”.
Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits
ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad
yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath
Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى
عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ
وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى
يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan
mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia
meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini
juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti
hadits ini pun dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا
مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا
أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“
Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi
pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah
orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya?
Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah
orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang
begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin
‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani.
Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula
Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits,
sebagaimana disebutkan dalam
At Taqrib. Adz Dzahabi dalam
Al Mizan
mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak
Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam
Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai
mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti
hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas,
beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa
sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa
tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Wallahu Ta’ala a’lam.”
[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya
Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.
[2]
Kedua: Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan,
“Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa.
Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama
mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian
hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”
[3]
[Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal
mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan
hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek
kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok
tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
dengan shalat.”
[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua
Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau
rahimahullah mengatakan,
“Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah
hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun
hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu
sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana
hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”
[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa
diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau
pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang
menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang
bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”
[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang
telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani
rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau
rahimahullah menyatakan
bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat
dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz
bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al
Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah.
Lalu beliau
rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.
[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah
munqothi’
(terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari
kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang
oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan
karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis
Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang
shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban.
Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah
hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“
Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu
Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau
orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.
Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan
malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama
Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah
menganggapnya sebagai bid’ah
qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang
qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara
berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah
dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini
adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu
sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu
yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini
tidak dinukil dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah
menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.
[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama
tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban,
maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah
di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a.
Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut
mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah
pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini
dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam
Lathoif Al Ma’arif.
[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau
rahimahullah
menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau
di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf,
maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan
kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan
tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at,
dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini
jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para
ulama.”
[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu
Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari
beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam
tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka
ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama
salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”
[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i
dan Ibnu Rajab. Beliau
rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i
rahimahullah
mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat
inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang
aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama
sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu
ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula
secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”
[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama
yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka
sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun
dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang
menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara
sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama
membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak
perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya.
Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam
nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya
dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat
di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan
khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau
rahimahullah
mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam
lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu.
Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang
perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang
biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu
Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal
13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15
Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan
malam Nishfu Sya’ban dengan
shalat tertentu atau siang harinya dengan
puasa tertentu.”
[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan
bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia.
Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam
Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah
turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam
Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu
Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu
diistimewakan.
‘Abdullah
bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam
Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya,
“Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu
Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam
(bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu
‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah
mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka
hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang
menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam
berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu
sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
- Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
- Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif,
Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428
H.
- Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
- Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
- Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad
‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Kami harap para pembaca bisa membaca artikel yang berkaitan dengan artikel ini di sini.
Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata yang didalam kurung [...] adalah kesimpulan dari kami.
[2] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 248.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/188.
[6] Idem.
[7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “
Ihyaul Lail”.
[9] Lathoif Al Ma’arif, 247-248.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 23/132.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190.
[13] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.
[14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678.
SUMBER:
www.muslim.or.id