Selasa, 17 Juli 2012

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)
Dalam lafadz yang lain:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238)
Derajat Hadits
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).
Faidah Hadits
Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)
Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)
Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:
النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس
An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)
Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).
Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:
«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:
Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.
Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.
Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر
Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’
Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.
Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)
Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa
Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)
Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?
Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.
Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.
Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.
Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits
إنما الطاعة في المعروف
Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan
dan hadits:
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah
Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

sumber: http://muslim.or.id/



Menyikapi Perbedaan dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan

Oleh: Ahmad Hanafi
pertemuanDALAM syari’at Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian ibadahnya mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat)  sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai keberjamaahan yang sangat kental.
Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar;
Pertama: Ibadah Fardiyah (individual). yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual (perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan thawaf di Ka’bah, sa’i antara  Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat sunnah rawatib dan yang lainnya.
Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang lainnya.
Dalam aplikasinya ibadah jama’iyyah mempunyai beberapa batasan yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama; penetapan bahwa ibadah tersebut boleh dilakukan secara berjama’ah adalah tawqifiyah (belandaskan wahyu). Artinya dalam hal ini seorang Muslim tidak dibenarkan menetapkan bentuk  sebuah ibadah menjadi ibadah jama’iyyah kecuali hal tersebut didukung oleh dalil-dalil syari’at yang jelas.
Sebagai contoh sederhana: Sholat sunnah rawatib -baik sebelum atau sesudah sholat fardhu- tidak boleh dilaksanakan dalam bentuk berjama’ah. Begitu pula sebaliknya, ibadah yang telah disyari’atkan pelaksanaannya secara berjama’ah maka tidak boleh dilakukan secara individual kecuali ada dalil syar’i yang membolehkannya. Hal ini berangkat dari kaidah umum dalam persoalan ibadah “al-Ashlu fi al-‘Ibaadat al-Tahriim”. Hukum asal penetapan sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.
Kedua; Ketaatan kepada Imam (Pemimpin) dalam Ibadah Jama’iyyah. Dalam konteks sholat berjama’ah misalnya, ada imam dan ada makmum. Maka sang makmum tidak boleh melakukan tindakan yang menyalahi posisinya sebagai makmum yang menjadikan imam sebagai patokan dalam pelaksanaan ibadah sholat. Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
إنما جعل الإمام ليؤتمّ به، فلا تختلفوا عليه
Artinya: “Seseorang dijadikan imam (dalam sholat) untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari No. 722 & Muslim No.414).
Tidak boleh seorang anggota jama’ah Jum’at melaksanakan sholat Jum’at terlebih dahulu sebelum khatib selesai berkhutbah. Sebagaimana dilarang mendirikan jama’ah baru dalam sebuah masjid sebelum jama’ah yang sebelumnya selesai melaksanakan sholat berjamaahnya. Apalagi dalam jihad fi Sabilillah maka seorang pasukan kaum Muslimin tidak boleh menyelisihi strategi dan instruksi panglima perang yang ditunjuk. Dalam hal ini Perang Uhud (Thn ke- 5 H) dapat dijadikan pelajaran penting betapa ketaatan kepada pemimpin menjadi syarat utama sebuah kemenangan.
Ketiga; Dalam ibadah Jama’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan ijtihad maka keputusan akhir dikembalikan kepada imamah syar’i (kepemimpinan) atau otoritas yang ditunjuk dan disepakati dalam hal ini Waliy al-Amr kaum Muslimin, selama yang mereka putuskan tidak melanggar ketentuan dan kaidah-kaidah syariat.
Waliy al Amr dan Solusi Keberjamahan
Dalam skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam sujud atau bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.
Dalam skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang jamaah haji meyakini berdasarkan ijtihadnya bahwa hari Arafah jatuh sehari sebelum atau sesudah hari yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk melaksanakan wukuf sendirian di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi apa yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi), karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.
Dalam sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu-  patut dijadikan teladan dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307) bahwasanya Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan  -Radhiyallahu’anhu- melaksanakan sholat di Mina sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka sahabat  Abdullah Ibn Mas’ud pun menginkari hal tersebut seraya berkata: “Aku (telah) ikut melaksanakan sholat di belakang Nabi –Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat (diqashar), kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak diqashar).” Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau (mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu Jelek”. Keyakinan Ibnu Mas’ud bahwa sholat di Mina disyariatkan untuk diqashar, tidak menghalangi beliau untuk tetap bermakmum di belakang Amirul Mukminin Utsman ibn Affan yang melaksanakannya secara sempurna, meskipun beliau tetap menginkari hal itu, tetapi karena itu adalah ibadah jama’iyyah maka keberjamaahan lebih harus didahulukan dari keyakinan pribadi.
Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah jama’iyyah dalam syari’at Islam. Ia bersentuhan secara erat dengan makna keberjamaahan baik dari sisi waktu pelaksanaannya, tatacaranya, bahkan dalam beberapa sisi yang lain makna kebersamaan, persatuan, empati dan semangat berbagi kepada sesama sangat menonjol dalam amaliyah Ramadhan, seperti: sholat tarawih, sedekah dan zakat fitrah. Hal ini menunjukkah bahwa salah satu di antara maqshad (tujuan) dan hikmah disyariatkannya ibadah puasa Ramadhan adalah terwujudnya syiar kebersamaan (baca keberjama’ahan) yang solid  di antara komponen ummat Islam.
Dalam konteks keberjama’ahan ummat Islam Indonesia –sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia- amatlah sangat disayangkan dan disesalkan jika dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan sering kali diwarnai oleh perbedaan antara beberapa komponen ummat (baca: ormas Islam), tanpa ada usaha yang serius dalam mencari solusi konkrit mengatasi perbedaan tersebut.  Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi keberjamaahan dan kebersamaan dalam ibadah puasa Ramadhan itu sendiri.
Padahal jika ditelusuri lebih seksama, perbedaan tersebut dapat di atasi jika tiga karakteristik ibadah Jama’iyyah di atas dapat diaplikasikan dengan penuh kedewasaan tanpa mengedepankan sikap fanatik dan egoisme masing-masing ormas yang berbeda. Tentunya dalam hal ini, peran Kementerian Agama dan MUI -sebagai pemegang mandat Waliy al-Amr seharusnya dapat lebih tegas dalam menyikapi perbedaan ini. Hal ini tentunya sejalan dengan tuntunan Nabi –Shallallahu’alaihi Wasallam- yang bersabda:
الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون
Artinya: “Puasa (Ramadhan) adalah di saat kalian semuanya berpuasa, dan (hari ‘Ied) fitri  (berbuka dan tidak berpusa) adalah di saat kalian semua ber’iedul fitri, dan hari berkurban (‘Ied al-Adha) adalah di saat kalian semua berkurban.” (HR. Abu Dawud No. 2324, al-Tirmidzy No. 697 & Ibn Majah No. 1660. Dan hadits ini disahihkan oleh syekh al-Albaniy dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud 2/50 & Shahih Sunan al-Tirmidzy 1/375).
Imam al-Tirmidzy berkata: “Makna (hadits) ini adalah bahwasanya (pelaksanaan) puasa dan idul fitri dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia (kaum muslimin). (Sunan al-Tirmidzy, No. 697).
Imam al-Khattabiy berkata: “Makna hadits adalah bahwasanya kesalahan dalam masalah ijtihad adalah perkara yang ditolerir dari ummat ini, jika sekiranya satu kaum berijtihad lantas menggenapkan puasa mereka sebanyak (30 hari) lantaran mereka tidak melihat hilal kecuali setelah tanggal 30 (Ramadhan),  kemudian terbukti bahwa (Ramadhan) hanya berjumlah 29 hari. Maka puasa dan ‘Ied Fitri mereka tetap sah, dan tidak ada dosa dan celaan buat mereka. Begitu juga dalam ibadah haji jika sekiranya mereka salah dalam (menetapkan) hari Arafah maka mereka tidak perlu mengulangi haji mereka, dan begitu juga dengan kurban mereka hukumnya tetap sah, dan sesungguhnya ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya.” (Dinukil oleh Ibn al-Atsir dari al-Khattabiy dalam kitab Jami’ al-Ushul 6/378).
Apalagi jika setiap ormas Islam yang berbeda pendapat itu memahami makna salah satu kaidah fikih “Hukm al-Haakim Yarfa’ al-Khilaf” yang bermakna Keputusan yang ditetapkan oleh hakim/pemerintah menyudahi perbedaan yang didasarkan oleh perbedaan ijtihad. Wallahu Ta’ala A’lam Wa Ahkam.*/Dir’iyyah, 19 Sya’ban 1433 H.
Mahasiswa S3 Jurusan Tsaqafah Islamiyah di King Saud University Riyadh

sumber: http://wahdah.or.id/